Jumat, 18 Februari 2011

Tips membangun karakter remaja

Pembentukan watak dan penanman nilai, tidak hanya cukup dengan kata-kata, ceramah dan pengajian. Tapi, harus diinternalisasikan dalam semua aspek aktifitas hidup baik di sekolah, di rumah, dan di lingkungan masyarakat itu sendiri. Contoh sederhana, nilai jujur, menghormati perbedaan, atau watak bertanggung jawab, dapat kita tanamkan ketika mereka belajar fisika dengan strategi “problem solving” di kelas. Artinya, sambil belajar fisika, ada agenda tersembunya dimana nilai-nilai universal dan kerpibadian anak secara tidak sadar terbangun dalam dirinya. Begitu pula halnya dengan disiplin, tanggung jawab, terbuka, katakanlah, dapat kita bangun ketika kita makan bersama dengan anak-anak di rumah. Dengan dilakukannya rutinitas makan malam bersama setiap jam tertentu, diiringi dengan tradisi ngobrol/diskusi terbuka, dan membersihkan atau mencuci bekas perkakas makannya masing-masing, maka karakter disiplin, tanggung jawab, terbuka dan lain-lain tersebut akan dengan sendirinya terbangun. Hanya satu tantangan yang diperlukan disini, yaitu pentingnya MODELING atau bahasa umumnya TELADAN yang KONSISTEN. Itu saja, lebih dari CUKUP! Masalahnya, maukah dan sanggupkah setiap orang dewasa menjadi MODEL/TELADAN bagi yang lebih muda? 
Inilah masalahnya. Jangan jauh-jauh dalam konteks Indonesia dewasa ini, disatu sisi para pakar pendidikan mengumbar semangat berantas kenakalan rema (juvenile delinquency), tapi di sisi lain kenakalan orang tua justeru menjamur, seperti maraknya berita selingkuh di TV, belum lagi korupsi dan lain-lain.
Nah, dalam kesempatan pertemuan tersebut, saya menyarankan bahwa untuk membangun karakter remaja di lingkungan Mesjid Babussalam atau lingkungan kompleks lembah pinus, harus melakukan beberapa hal:
  1. Membuka peluang aktifitas apa saja yang memungkinkan bisa mewadahi bakat dan minat para remaja.
  2. Untuk itu diperlukan sinergi antara Mesjid dengan Aparat RW dan Warga untuk menjadi mentor atau pendamping dalam aktifitas tersebut. Misalnya ada wadah untuk remaja yang berminat dalam bidang olah raga volley ball.
  3. Melalui para mentor atau pendamping itulah kelak, nilai, watak dan kepribadian positif lain disuntikkan atau digembleng, sehingga secara tidak sadar dan tidak langsung nilai-nilai tersebut atau pembangunan karakter akan tertanam dan terbangun dengan sendirinya pada diri mereka.
Intinya, demikian. Dengan demikian, pendidikan nilai tidak hanya terjadi karena melalui kegiatan pengajian, ceramah agama dan lain-lain yang dianggap membosankan dan tidak menarik bagi mereka. Namun, demikian hal-hal seperti ini bukan berarti tidak harus dilakukan. Tetap harus dilakukan secara reguler sebagai pertemuan untuk mengumpulkan mereka dan untuk memperoleh wawasan religi yang lebih luas dan mendalam. Aplikasinya, tertanam dan terbangun secara tidak sadar dari aktifitas yang dia alami dalam wadah aktifitas tersebut.
Untuk mewujudkan hal ini perlu sedikit trik atau metode dalam setiap pekasanaan aktifitas mereka. Kalo kita mengacu pada teori experiential learning-nya David Kolb, maka ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh mentor atau pembimbing, yaitu:
  • Tantang : timbulkan rasa ingin tahu atau ingin melakukan
  • Sharing : ajak berdiskusi, ceritakan pengalaman
  • Rencanakan : ajak mereka untuk mengatur strategi apa yang akan dilakukan untuk mencapai tantangan
  • Lakukan : lakukan seperti apa yang direncanakan
  • Ambil hikmah : ajak mereka untuk merefleksikan apa yang mereka rasakan secara terbuka
Contoh konkrit? Misalnya remaja berminat dalam tenis meja. Maka dibentuk wadah semacam klub tenis meja dengan satu atau beberap mentor sebagai pembimbing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar